Kamis, 25 Februari 2010

Apa Strategi CSR Perusahaan Anda?


Ngomong-ngomong tentang Corporate Social Responsibility (CSR), masih sering kita jumpai banyak pro dan kontra tentangnya: Mengapa harus melakukan CSR? Apa untungnya bagi perusahaan? Apa filosofinya? Apa bentuk CSR yang paling tepat? Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sangat beragam bagi setiap perusahaan, tergantung pada kondisi masing-masing perusahaan. Daripada berdebat tentang jawabannya mending kita membedah kondisi etis apa yang membuat sebuah perusahaan membuat respons terhadap pertanyaan-pertanyaan CSR di atas termasuk juga respons yang lebih luas atas keberadaannya di muka bumi.

Ada beberapa Ethic Models untuk menganalisis kondisi etis sebuah perusahaan yang merupakan sumber respons mereka. Salah satunya yang disusun Reidenbach dan Robin dalam jurnalnya “Toward the Development of a Multidimensional Scale for Improving Evaluations of Business Ethics”. Reidenbach dan Robin membaginya dalam 5 tahap: Amoral – Legalistic – Responsive – Emerging Ethical – Ethical. Amoral Companies suka sekali berdalih dengan beberapa frasa ini: ” Mereka tidak akan tahu kok” atau “Setiap orang juga melakukan seperti ini” atau “Kita tak akan tertangkap kok.” Sedangkan Legalistics Companies, argumen andalannya adalah, ” Kalau legal berarti OK, kalau tidak yakin, suruh lawyer mengeceknya.” Intinya mereka lebih mengacu kepada tulisan peraturan dari pada semangat yang tersimpan dalam peraturan. Pada tahap Responsive Companies, sebuah perusahaan sudah mulai tidak hanya berpaku pada legal basis dan mereka juga mulai memperhatikan stakeholders yang lebih luas. Sedangkan di tahap Emerging Ethical Companies, nilai-nilai etika sudah menjadi culture perusahaan, namun kadang masih memiliki kekurangan pada pengorganisasian dan perencanaan jangka panjang. Tahap paripurna adalah The Ethical Companies, disebut juga ethical organization. Di tahap inilah terbentuk kesetimbangan yang apik antara ethics dan profit yang mengarahkan kebijakan perusahaan.

Kalau penjelasan di atas nampak rumit, ada penjelasan yang lebih sederhana yang dibuat oleh John Elkington dalam bukunya The Chrysalis Economy. Secara garis besar korporasi-korporasi di muka bumi ini bisa diklasifikasikan dalam 4 macam metafora, yakni: (1) Ulat (Caterpillar), pekerjaan kelompok ini adalah mengenyangkan perut sendiri. Efeknya lingkungan sekitarnya rusak. Fotosintesis tanaman, tempat di mana ia tinggal terganggu. Mahluk lain yangt mendekat bisa dibuat gatal dengan ranjau bulunya yang mengerikan. Pokoknya kelompok ini adalah si rakus yang high impact destructive dan degenerative, (2) Belalang (Locust), kelompok ini memang memakan daun ala kadarnya, tapi jangan dianggap remeh, apabila sudah dalam bentuk koloni mereka bisa membuat ladang menjadi gundul dalam sekejap. Ya, meski daya destruktif mereka relatif kecil tapi dalam jumlah banyak, mereka bisa degenerative; (3) Kupu-kupu (Butterfly), kelompok ini sudah mulai mampu meramu social-environmental value dengan economic value, meski dalam taraf low impact. Mereka mengambil madu dari bunga tetapi mereka juga tidak merusaknya malah membantu penyerbukan. Itu saja! Mereka bekerja dalam skala kecil dan lebih bersifat individual. (4) Lebah (Honeybees), kelompok ini sangat harmonis dalam meramu social-environmental value dengan economic value. Lihatlah mereka mengambil madu tanpa merusak bunga sambil membantu penyerbukan tanaman. Tapi tidak berhenti sampai di situ, mereka juga menyediakan madu yang sangat bermanfaat bagi mahluk lain. Dan hebatnya semua itu dilakukan dalam manajemen organisasi yang sangat solid. O, iya, sengatan mereka bahkan bisa dijadikan sarana pengobatan akupuntur. Kesimpulannya, kelompok ini menciptakan bisnis yang regeneratif dengan taraf high impact!

Penjelasan di atas memang tidak hanya menjawab CSR dalam makna sempit. CSR itu bisa bermakna sangat luas bagi si Lebah! Ada satu statement dari Timberland, perusahaan apparel asal UK, yang layak kita renungkan terkait dengan CSR ini: “We do not give money to charity. Instead we try to create a return. We create values for our customers, the community and the non-profit organizations we work with. The traditional notion of philanthropy is not adequate. It is not smart or wise to approach social problems with the financial leftovers of companies.” Nah lho…Lantas apa strategi CSR Anda?


Tulisan ini sebelumnya dimuat di www.indonesiasejahtera.wordpress.com 

Meneladani Human Resource Management Ala Rasul


Manajemen sumber daya manusia yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW didasarkan pada konsep Islam mengenai manusia itu sendiri. Konsep Pertama: Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan. Oleh karena itu segala kegiatan manusia harus merupakan bentuk ibadah, ibadah dalam arti luas, tidak hanya ibadah yang bersifat ritual. Setiap kegiatan manusia bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk mencari ke-ridlo-an Tuhan. Bermasyarakat yang baik adalah ibadah, bekerja dengan giat merupakan ibadah, bahkan tidur pun bisa bernilai ibadah. Konsep kedua: Manusia adalah khalifatullah fil ardhli – wakil Allah di bumi, yang bertugas memakmurkan bumi. Konsekuensi dari kedua konsep ini adalah segala kegiatan manusia akan dinilai dan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Dengan konsep tersebut Islam memandang bahwa masalah memange manusia bukan masalah yang sepele. Islam mengusahakan sumber daya manusia untuk ikut memakmurkan bumi dalam lingkup pengabdian kepada Tuhan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin potensi yang telah dianugerahkan oleh Tuhan.
Rasulullah telah memberi teladan yang bisa diaplikasikan ke dalam lingkup HR Management dari mulai recruitment/selection, compensation dan organizing.

Dalam hal recruitment & selection, beliau sangat mementingkan profesionalisme. Beliau bersabda, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)-nya.” (HR Bukhari dan Ahmad). Rasulullah juga bersabda, “Siapa yang mengangkat seseorang sebagai pegawai dari suatu kaum, padahal pada kaum itu terdapat seseorang yang diridhai Allah (cakap, soleh dan beriman) maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. (HR al-Hakim).

Rasulullah sangat memperhatikan masalah remunerasi. Dalam hadis riwayat Abdur-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda: “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” Sedangkan dalam Hadis Riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”

Dalam hubungannya dengan organizational management, Rasulullah adalah manager yang piawai dalam mendelegasikan suatu tugas kepada para sahabatnya. Kemampuan pendelegasian yang baik ini dikarenakan beliau sangat mengenal karakter, potensi dan (minat) masing-masing sahabatnya. Ada yang menarik dalam sejarah Islam, Umar bin Khatab adalah seorang yang tinggi besar, kuat serta pandai berperang. Akan tetapi Umar tak pernah diangkat menjadi panglima perang. Justru Usamah, pemuda 16 tahun, pernah ditugaskan menjadi seorang panglima perang. Itu karena Rasulullah paham, bahwa selain memiliki kompetensi dalam berperang, Umar memiliki kompetensi sebagai seorang pemimpin (khalifah). Dan ia disiapkan untuk itu. Rasulullah juga telah mencontohkan implementasi Participative Management. Beliau kerap melibatkan para sahabatnya dalam pengambilan keputusan. Contoh yang monumental tentang manajemen partisipatif ini bisa dilihat dari keberhasilan Rasul dan sahabat dalam perang Khandaq.

Di samping itu, Rasulullah juga sangat piawai dalam memberikan motivasi kepada sahabatnya secara tepat sesuai keadaan sahabatnya. Beliau tidak hanya memotivasi untuk masalah akhirat saja, Beliau juga memotivasi para sahabatnya untuk selalu optimal di semua posisi dan peran kehidupan masing-masing.
Yang menarik adalah Rasulullah memberikan perhatian yang istimewa kepada semua sahabatnya, sehingga diriwayatkan bahwa setiap sahabat merasa bahwa dia adalah orang yang paling diperhatikan dan dicintai Rasul-Nya. Inilah salah satu bentuk immaterial compensation yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Pada praktiknya, Rasulullah tidak hanya sebagai seorang manager, beliau adalah seorang leader. Dan lebih dari itu, beliau tidak hanya menjadi seorang leader, tetapi leader yang mampu mencetak leader-leader unggul. Hal ini bisa dilihat dari jejak khulafaur rasyidin dan semua sahabatnya.


Tulisan ini sebelumnya dimuat di www.indonesiasejahtera.wordpress.com 

Strategi Revitalisasi PT Kereta Api Indonesia


Bagi Anda yang dilahirkan tahun 90-an ke bawah, tentu mengenal lagu seperti judul di atas : Naik kereta api Tut…3x Siapa hendak turut. Ke Bandung, Surabaya. Bolehkah naik dengan percuma. Ayoo kawanku lekas naik. Keretaku tak berhenti lama. Saya tidak tahu apakah anak-anak kelahiran tahun 90-an ke atas masih diajari lagu tersebut atau tidak. kalau toh pun diajari mereka juga mungkin akan protes, kenapa bunyi kereta “tut…tut…tut”. Wong kereta api sekarang sudah bertenaga engine diesel atau listrik dengan suara yang lebih halus dan tidak ber “tut..tut…tut” seperti kereta zaman dahulu yang bertenaga uap.

Bukan lagu itu yang akan Penulis ulas. Penulis cukup prihatin dengan per-kereta api-an sekarang. Banyaknya kecelakaan kereta api (seperti gerbong anjlok), kondisi fisik gerbong yang tidak terawat (terutama kereta api kelas ekonomi), dan kondisi cashflow perusahaan kereta api (PT KAI) yang konon merugi terus. Oleh karena itu penulis ingin turut sumbang saran demi kemajuan perkereta apian Indonesia.

Terus terang saja. Kereta hanya menjadi moda transportasi favorit bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Padahal justru di segmen inilah, keuntungan bisnis kereta api sangat marginal sehingga harus disubsidi dari kelas bisnis dan eksekutif. Ironisnya justru kelas bisnis dan eksekutif bukan menjadi alat transportasi pilihan segmen kelas menengah-ke atas. Oleh karena itu, penulis merumuskan dua menjadi pertanyaan menarik : (1) Bagaimana strategi KAI untuk meningkatkan keuntungan dari segmen pasar ekonomi menengah-ke bawah ini? (2) Bagaimana meraup segmen pasar ekonomi menengah-ke atas?

Untuk menjawab pertanyaan (1) satu-satunya strategi yang harus ditempuh oleh KAI adalah Cost Leadership. Cost leadership bisa diperoleh melalui perampingan Sumber Daya Manusia (SDM), tetapi Penulis tidak terlalu tertarik untuk membahas topik ini – terlalu riskan. Masih ada cara lain mengefisiensikan biaya operasional. Biaya operasional kereta api diesel (sebagian besar kereta api di Indonesia masih bertenaga engine diesel) disumbang paling banyak dari biaya bahan bakar minyak diesel, apalagi dengan kondisi harga minyak diesel yang melambung seiring melambungnya harga crude oil. Oleh karena itu KAI harus sudah merencanakan adanya perubahan bahan bakar kereta api.

Idealnya KAI merubah tenaga diesel dengan tenaga listrik. Disamping harga listrik yang lebih murah (untuk tenaga yang sama yang dibangkitkan oleh minyak diesel), juga tenaga listrik lebih ramah lingkungan. Akan tetapi constraint yang dihadapi adalah besarnya investasi yang harus dikeluarkan oleh KAI. Alternatif yang lebih realistis adalah mengganti minyak diesel menjadi gas. Harga gas untuk satuan kalor yang sama bisa mencapai sepertiga sampai setengah dari harga minyak diesel. Biaya konversi alternatif ini juga relatif lebih rendah daripada mengganti dengan tenaga listrik. Kalau ingin mengkonversi tidak secara drastis, maka bisa memakai sistem dual-fuel, hanya efek penghematan operasionalnya tidak sebesar apabila berbahan bakar gas dedicated.

OK, pertanyaan (1) sudah bisa kita jawab secara kasar. Sekarang bagaimana menjawab pertanyaan (2)? Strategi yang bisa dilakukan KAI adalah Fokus dan Diferensiasi. Lantas bagaimana caranya membuat kereta api menjadi satu alat transportasi yang berbeda (different) dari lainnya? Kita harus mencari strength dari kereta api dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Kereta api memiliki kekuatan yang bisa dirangkum dalam kalimat “big is beautiful”.

Ukuran yang besar adalah potensi terpendam kereta api yang belum dimanfaatkan oleh KAI. OK, kereta api masih kalah cepat dengan Pesawat Terbang, tapi carilah segmen yang lebih prefer terhadap kenyamanan. Inilah “fokus”, fokus kelas bisnis dan eksekutif difokuskan untuk target yang betul-betul memilih kenyamanan. Penulis yakin, tidak semua orang memilih “kecepatan” sebagai preferensi utama dalam memilih alat transportasi. Oleh karena itu untuk kelas bisnis dan eksekutif, buatlah fasilitas kenyamanan yang senyaman-nyamannya untuk meraup segmen ini. Misal ada gerbong eksekutif yang dilengkapi dengan kamar tidur (kayak di luar negeri sana). Ada restoran atau kafe elit dengan hotspot (ingat bukan restorka seperti sekarang ini). Atau kalau mau bisa dibuat gerbong yang berisi permainan bagi anak anak (untuk menarik pasar dengan mempengaruhi anak-anak. Gerbong ini dipasang kalau musim liburan). Atau ada gerbong yang dilengkapi bioskop mini atau karoeke. Pokoknya yang memberikan kenyamanan dan hiburan. Tentunya ide ini harus dikaji lagi secara detil dari aspek market dan financial. Sehingga bisa dirumuskan strategi pengembangan yang paling feasible.

Strategi fokus dan diferensiasi tersebut akan “make the target market delighted” bukan sekedar “satisfied”. Dengan adanya kereta api yang nyaman itu, mungkin anak-anak kita nanti akan menjadi mengenal kembali lagu ” Naik Kereta Api”. Bahkan mereka akan menyanyikannya dengan begitu bersemangat! ” Siapa hendak turut…”

Tulisan ini sebelumnya dimuat di www.indonesiasejahtera.wordpress.com 

Seberapa Majukah Perusahaan Anda di Masa Depan?


Anda pasti selalu tertarik untuk memikirkan jawaban pertanyaan seperti judul di atas. Soalnya jawaban pertanyaan tersebut menyangkut masa depan Anda juga. Jika Perusahaan Anda -yang dimaksud bisa perusahaan milik Anda atau perusahaan tempat Anda bekerja- bangkrut, Anda juga terancam bangkrut juga. Demikian juga sebaliknya.

Terus bagaimana cara melihat perusahaan kita di masa depan? Kita sepakat bahwa masa depan itu tidak tiba-tiba terjadi, ia adalah sebuah fase dari sebuah proses setelah melewati masa lalu dan sekarang. Kesehatan atau kemajuan perusahaan kita di masa depan bisa dilihat (diprediksi) dari kinerja masa lalu dan sekarang. Kinerja semua management function : operasional, pemasaran, keuangan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Penulis tidak akan mempersoalkan pengukuran kinerja tersebut. Tools untuk mengukur kinerja juga sudah maju dan lengkap, seperti dengan Balanced Score Card atau dengan menggunakan metode Malcolm Baldrige Quality Award (MBQA).

Yang ingin Penulis ulas adalah bahaya laten terhadap masa depan suatu perusahaan, yaitu bahaya tersembunyi yang sering dilupakan. Bahaya itu adalah tidak ditanganinya dengan baik manajemen SDM. Kita sudah sangat familier dengan financial plan, marketing plan dan operational plan, tetapi masih sangat jarang kita mendengar human resource development plan. Pengelolaan SDM sering dilupakan karena akibatnya tidak dirasakan serta merta, efeknya terasa setelah kurun waktu yang lama tapi fatal!

Di sinilah titik temu bahasan ini dengan judul di atas bahwa kemajuan perusahaan Anda itu ditentukan oleh seberapa besar perhatian Anda atau perusahaan Anda dalam menangani masalah SDM. Boleh jadi kinerja keuangan, operasional dan pemasaran perusahaan Anda saat ini sangat bagus, tapi tanpa penanganan SDM yang baik, bisa dipastikan perusahaan Anda suatu saat akan runtuh. Atau bisa jadi kinerja keuangan, operasional dan pemasaran saat ini mediocre atau bahkan bernilai merah, tapi dengan penanganan SDM yang baik, perusahaan Anda berpeluang sangat besar untuk bangkit dan berkembang pesat. Kuncinya adalah SDM, bahwa aset perusahaan yang paling bernilai adalah SDM-nya.

Bagaimana cara menilai penanganan SDM? Indikator kasat mata adalah tingkat turn over pegawai perusahaan bersangkutan. Semakin tinggi turn over mengindikasikan ada “something wrong” dalam pengelolaan SDM. Tapi tidak selamanya begitu. Kita harus mengingat kredo berikut : “Perusahaan yang jelek adalah perusahaan yang membuat karyawan-karyawan terbaiknya keluar dan membuat karyawan-karyawan buruknya tetap bertahan”. Sudah menjadi rahasia umum bahwa karyawan-karyawan buruk itu justru lebih mampu bertahan -sebab mereka tidak mempunyai pilihan lain- meski dengan penanganan SDM yang jelek. Intinya, bahwa belum tentu tingkat turn over pegawai yang rendah menandakan penanganan SDM yang lebih baik.

Ada satu pertanyaan sederhana yang bisa mengetahui tingkat penanganan SDM: Apakah perusahaan Anda telah memperhatikan potensi & minat, rencana karir dan bagaimana merealisasikan career path karyawannya? Jika belum, maka berhati-hatilah dan tunggulah saatnya perusahaan Anda kolaps. Atau mungkin Anda yang lebih dahulu meninggalkan perusahaan tersebut.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di www.indonesiasejahtera.wordpress.com 

Memecah Communication Barrier dalam Organisasi


Stephen P. Robbins mengingatkan dalam bukunya Organizational Behavior, ada beberapa barrier dalam berkomunikasi, yakni filtering, selective perception, information overload, defensiveness serta bahasa. Latar belakang sosial budaya sangat mewarnai pola komunikasi dalam suatu organisasi, termasuk barrier komunikasinya. Di negeri kita, kolonialisme, feodalisme dan Rezim Orde baru termasuk yang menyumbangkan banyak andil dalam barrier komunikasi. Bawahan terserang sindrom ABS, Asal Bapak Senang, yang membuat mereka melakukan filtering informasi, melaporkan yang baik-baik saja. Sebaliknya, atasan terserang sindrom defensiveness, tidak suka dikritik.

Kali ini saya hanya ingin membicarakan penggunaan bahasa dalam suatu organisasi dan pengaruhnya dalam barrier komunikasi. Saya ambilkan dua contoh kasus. Di tempat saya bekerja, kami lebih suka memanggil sesama rekan dan atasan yang relatif muda dengan panggilan ”Mba” dan “Mas” dari pada “Ibu” dan “Pak”. Namun kepada yang sudah “senior”, kami tetap memanggil “Pak” dan “Bu”. Sedangkan di salah satu jurusan di ITB, panggilan “Mas” dan “Mba” kepada senior sampai sekarang masih dipertahankan, bahkan kepada yang sudah sepuh sekalipun, atau kepada profesor.

Mungkin panggilan “Mba” dan “Mas” terdengar sepele, tapi setelah saya renungi dan evaluasi, ternyata efeknya cukup bagus dalam mencairkan barrier komunikasi di lingkungan organisasi. Saya sendiri ketika mengucapkan “Mba” dan “Mas”, seolah-olah saya sedang berbincang dengan kakak atau saudara saya sendiri, sehingga komunikasi menjadi lebih mengalir. Saya pernah kepikiran, bagaimana kalau menganggap sebuah Divisi di tempat saya bekerja sebagai keluarga kecil. Kepala Divisi (Kadiv) dipanggil “Pak” atau “Bu”, jajaran dibawahnya saling memanggil “Mas” dan “Mba”, serta memanggil Kadiv lainnya dengan sapaan “Pak De” atau “Bu Dhe”. Kalau seperti ini, Direksi dipanggil “Mbah”, Komisaris dipanggil “Mbah Buyut”. Cukup!

Saya memang tidak sedang mengusulkan sistem sapaan dalam perusahaan seperti itu, saya hanya ingin menekankan bahwa barrier komunikasi bisa juga diatasi dengan pemilihan bahasa, khususnya panggilan yang lebih informal. Tentunya tanpa menghilangkan kaidah kesopanan dan kesantunan. Implementasinya juga fleksibel disesuaikan dengan kondisi perusahaan masing-masing, sebab words mean different things to different people. Dengan hilangnya barrier komunikasi maka lalu lintas informasi, knowledge sharing, serta sinergi inovasi dalam suatu organisasi akan lebih berkembang dengan dahsyat. Selamat memecah barrier komunikasi dalam organisasi Anda…


Tulisan ini sebelumnya dimuat di www.indonesiasejahtera.wordpress.com

A Creative Marketing Strategy for New Music Album Launching














Jika ada yang bertanya apa barometer musik Indonesia, saya akan menjawab acara pengamen di lampu merah. Lho ini serius, saya tidak sedang bercanda. Saya mempunyai hipotesis bahwa terdapat korelasi positif antara frekuensi lagu yang dinyanyikan oleh pengamen di lampu merah dengan tingkat kepopuleran lagu. Bagi saya ini sangat logis. Menurut saya pengamen di lampu merah itu pada hakikatnya adalah sedang berjualan pertunjukan nyanyi. Untuk mendapatkan apresiasi berupa uang recehan (paling gedhe ribuan) dari pendengar, mereka berusaha tampil maksimal, baik dari segi permainan alat musik atau pemilihan jenis lagu. Saya memiliki keyakinan bahwa mereka menyesuaikan lagu mereka dengan selera pasar, yaitu lagu-lagu yang sedang ngetop. Lagian mereka juga malu dong kalau sampai disebut “musisi jalanan jadul*”.

Beberapa waktu yang lalu saya sering mendengar beberapa bait lagu yang baru saya dengar yang dinyanyikan pengamen-pengamen di lampu merah. Setelah saya melototi acara lagu di televisi, baru saya tahu ternyata lagu itu adalah lagu yang sedang ngetop, yaitu lagu : “Sebelum Cahaya” nya Letto dan lagu “Munajat Cinta” nya The Rock-Ahmad Dhanni. Dari kasus ini saya tambah yakin kalau hipotesis saya benar.
Nah, dari kesimpulan itu saya jadi berpikir, kenapa tidak kita gunakan alur logika terbalik untuk membuat strategi marketing launching lagu-lagu baru. Jadi begini, produser musik melakukan kerja sama dengan para pengamen di kota-kota besar di Indonesia. Konsep perjanjian kerja sama tersebut adalah para pengamen akan menyanyikan lagu yang baru dirilis produser musik minimal berapa kali sehari dengan besaran imbalan tertentu yang disepakati. Saya yakin akumulasi biaya kompensasi bagi pengamen tersebut tidak akan sebesar biaya yang dikeluarkan jika produser musik mengiklankan lagunya di media elektronik. Kerja sama mutualisme! Produser bisa mempopulerkan lagunya dengan lebih hemat dan pengamen mendapat tambahan penghasilan. Saya yakin ini bisa menjadi satu strategi marketing kreatif untuk me-launching lagu-lagu baru. Viva industri musik Indonesia!
*) Jadul = jaman dulu, ketinggalan zaman.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di www.indonesiasejahtera.wordpress.com